Sabtu, 04 Juni 2011

KETUBAN PECAH DINI

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KPD (KETUBAN PECAH DINI)

A.        DEFINISI

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban disertai keluarnya cairan amnion sebelum proses persalinan dimulai baik pada kehamilan cukup bulan maupun pada persalinan prematur.
Ketuban pecah dini merupakan ancaman bagi janin, khususnya jika hal ini terjadi di awal kehamilan.
Ketuban pecah dini ( KPD ) adalah pecahnya atau rupturnya selaput amnion sebelum dimulainya persalinan yang sebenarnya atau pecahnya selaput amnion sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu dengan atau tanpa kontraksi. ( Hossam, 1992 ).
Kejadian ketuban pecah dini mendekati 10 % dari semua persalinan. Pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu, kejadian sekitar 4 %. Sebagian dari ketuban pecah dini mempunyai periode laten melebihi satu minggu. Early rupture of membrane adalah ketuban pecah pada fase laten persalinan.


B.       ETIOLOGI
Penyebab pasti dari KPD ini belum jelas.Akan tetapi ada beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya KPD ini, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.    Trauma : Amniosintesis, pemeriksaan pelvis dan hubungan seksual.
3.    Infeksi vagina, serviks atau korioamnionitis streptokokus, serta bakteri vagina.
4.    Selaput amnion yang mempunyai struktur yang lemah atau selaput terlalu tipis.
5.    Keadaan abnormal dari fetus seperti malpresentasi.
6.    Kelainan pada serviks atau alat genetalia seperti ukuran serviks yang pendek ( < 25 cm ).
7.    Multipara dan peningkatan usia ibu.
8.    Defisiensi nutrisi.

Selain itu penyebab lain dari ketuban pecah dini ialah infeksi genetalia, serviks inkompeten, gemelli, hidramnion, kehamilan preterm, disproporsi sefalopelvik.

C.       PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung sebagai berikut :
·       Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan vaskularisasi.
·       Bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban sangat lemah dan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.

D.        MANIFESTASI KLINIS
Ibu biasanya datang dengan keluhan utama keluarnya cairan amnion atau ketuban melewati vagina.Selanjutnya jika masa laten panjang, dapat terjadi korioamnionitis. Untuk mengetahui bahwa telah terjadi infeksi ini adalah mula – mula dengan terjadinya takikardi pada janin. Takikardi pada ibu muncul kemudian, ketika ibu mulai demam. Jika ibu demam, maka diagnosis korioamnionitis dapat ditegakkan, dan diperkuat dengan terlihat adanya puss dan bau pada secret.
Selain itu Janin mudah diraba, Pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering. Inspekulo : tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air ketuban sudah kering.
E.       PENATALAKSANAN
Sebagai gambaran umum untuk penatalaksanaan KPD dapat dijabarkan sebagai berikut :
·       Pertahankan kehamilan sampai cukup matur, khususnya maturitas paru sehingga mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru yang sehat
·       Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi pemicu sepsis, meningitis janin, dan persalinan prematuritas
·       Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan berlangsung dalam waktu 72 jam dapat diberikan kortikosteroid, sehingga kematangan paru janin dapat terjamin.
·       Pada kehamilan 24 sampai 32 minggu yang menyebabkan menunggu berat janin cukup, perlu dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan, dengan kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan.
·       Menghadapi KPD, diperlukan KIM terhadap ibu dan keluarga sehingga terdapat pengertian bahwa tindakan mendadak mungkin dilakukan dengan pertimbangan untuk menyelamatkan ibu dan mungkin harus mengorbankan janinnya.
·       Pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah USG untuk mengukur distansia biparietal dan peerlu melakukan aspirasi air ketuban untuk melakukan pemeriksaan kematangan paru melalui perbandingan L/S
·       Waktu terminasi pada hamil aterm dapat dianjurkan selang waktu 6 jam sampai 24 jam, bila tidak terjadi his spontan.
·       Konservatif
a)   Rawat rumah sakit dengan tirah baring.
b)   Tidak ada tanda-tanda infeksi dan gawat janin.
c)   Umur kehamilan kurang 37 minggu.
d)   Antibiotik profilaksis dengan amoksisilin 3 x 500 mg selama 5 hari.
e)   Memberikan tokolitik bila ada kontraksi uterus dan memberikan kortikosteroid untuk mematangkan fungsi paru janin.
f)     Jangan melakukan periksan dalam vagina kecuali ada tanda-tanda persalinan.
g)   Melakukan terminasi kehamilan bila ada tanda-tanda infeksi atau gawat janin.
h)   Bila dalam 3 x 24 jam tidak ada pelepasan air dan tidak ada kontraksi uterus maka lakukan mobilisasi bertahap. Apabila pelepasan air berlangsung terus, lakukan terminasi kehamilan.
·       Aktif
Bila didapatkan infeksi berat maka berikan antibiotik dosis tinggi. Bila ditemukan tanda-tanda inpartu, infeksi dan gawat janin maka lakukan terminasi kehamilan.
Ø    Induksi atau akselerasi persalinan.
Ø    Lakukan seksiosesaria bila induksi atau akselerasi persalinan mengalami kegagalan.
Ø    Lakukan seksio histerektomi bila tanda-tanda infeksi uterus berat ditemukan.

F.        PENCEGAHAN
Hal-hal yang harus diperhatikan saat terjadi pecah ketuban
Yang harus segera dilakukan:
·       Pakai pembalut tipe keluar banyak atau handuk yang bersih.
·       Tenangkan diri Jangan bergerak terlalu banyak pada saat ini. Ambil nafas dan tenangkan diri,.

Yang tidak boleh dilakukan:
·       Tidak boleh berendam dalam bath tub, karena bayi ada resiko terinfeksi kuman.
·       Jangan bergerak mondar-mandir atau berlari ke sana kemari, karena air ketuban akan terus keluar.
·       Berbaringlah dengan pinggang diganjal supaya lebih tinggi.

G.      KOMPLIKASI
·       Ibu
infeksi maternal : korioamnionitis (demam >380C, takikardi, leukositosis, nyeri uterus, cairan vagina berbau busuk atau bernanah, DJJ meningkat), endometritis

·       Janin
*     Penekanan tali pusat (prolapsus) : gawat janin
*     Trauma pada waktu lahir
*     Premature : Periode antara KPD dengan persalinan disebut periode laten. Pada usia hamil dini biasanya periode laten memanjang. Aterm : 90% periode laten 24 jam. 28-34 minggu : 50% inpartu dalam 24 jam, 80-90% inpartu dalam satu minggu.

H.       MANAGEMENT TERAPEUTIK
Management terapeutik KPD bergantung pada usia kehamilan serta apakah ada tanda infeksi atau tidak.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan apakah selaput amnion benar – benar rupture.Inkontinensia urine dan pengeluaran vagina merupakan tanda – tanda untuk perlu mencurigai terjadinya rupture atau pecahnya selaput amnion.
Untuk membuktikannya, dengan cara menggunakan speculum steril, guna melihat kumpulan cairan amnion disekitar serviks atau dapat juga melihat langsung cairan amnion yang keluar melalui vagina.
Analisis dengan kertas nitiozine akan menandakan keadaan alkali dari cairan amnion. Sekresi vagina pada wanita hamil memiliki nilai pH antara 7,0 – 7,2. Jika kertas tidak menunjukkan perubahan warna, berarti hasil tes negative yang mengindikasikan bahwa selaput membrane tidak rupture. Jika hasil tes positif maka akan terjadi perubahan warna kertas. Hal ini mungkin saja menandakan terjadinya keracunan karena urine, darah, dan pemberian antiseptic yang menyebabkan sekresi serviks menjadi alkali, sehingga mempunyai pH yang hampir sama dengan pH cairan amnion.
Dapat juga dengan menggunakan tes ferning. Tes ferning digunakan dengan meletakkan sedikit cairan amnion diatas gelas kaca, kemudian tambahkan sodium klorida dan protein. Hasilnya akan berbentuk seperti tanaman pakis. Hasil tes menjadi negative pada kebocoran yang telah terjadi beberapa hari.
Bisa juga digunakan dengan tes kombinasi, yaitu pemeriksaan speculum, tes dengan kertas netrazine atau tes ferning, sehingga diagnose menjadi akurat.
Pada kehamilan preterm, serviks biasanya tidak baik untuk konduksi . Faktor seperti usia kehamilan, jumlah cairan amnion yang tersisa, kematangan paru – paru janin, harus menjadi bahan pertimbangan. Selain itu perlu juga diperhatikan adanya infeksi pada ibu dan janin.
Saat usia kehamilan antara 32 – 35 minggu perlu dilakukan tes kematangan paru janin dari cairan yang ada di vagina. Tes tersebut diantaranya adalah tes – tes yang mengukur perbandingan surfaktan dengan albumin. Tes dengan menggunakan phosphatidyl glycerol, atau tes yang menghitung perbandingan lesitin dengan spingomielin. Aminiosintesis dan kultur kuman sering dilakukan jika terdapat tanda infeksi. Tes ini berguna untuk menghindari terjadinya respiratory distress syndrome ( RDS ) pada bayi jika bayi dilahirkan.
Liggins dan howie ( 1972 ) menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid ( betametason ) akan mempercepat pematangan paru – paru fetus dan akan menurunkan insiden terjadinya RDS. Namun, karena terjadinya peningkatan insidensi kelainan neurologis dan potensi meningkatkan insidensi potensi pada bayi baru lahir yang baru diberi kortikosteriod, maka pemberian kortikosteroid belum dapat disarankan.
Bila janin belum viable ( < 36 minggu ) dan ingin mempertahankan kehamilannya, ibu diminta untuk istirahat ditempat tidur ( Baddress ), berikan obat – obatan seperti : antibiotic profilaksis yang dapat mencegah infeksi juga spasmolitik untuk mengundurkan waktu sampai anak viable.
Tes kematangan paru – paru janin perlu dilakukan secara periodic, observasi adanya infeksi dan mulainya persalinan, kemudian persalinan dapat dilakukan setelah paru janin matang.
Bila janin telah viable ( > 36 minggu ) dan serviks sudah matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin 2 – 6 jam setelah periode laten, dan diberikan antibiotic profilaksis. Jika serviks belum matang, matangkan serviks dengan prostaglandin dan infuse. Pada kasus – kasus tertentu bila induksi partus gagal, maka akan dilakukan tindakan operatif.
Resiko infeksi pada KPD tinggi sekali, ini biasanya disebabkan oleh organism yang ada di vagina, seperti E.colli, streptokokus fastafis, Streptokokus B.hemoliccus, Proteus, klebsietta,Pseudomonas, dan Stapilokokus. Namun, beruntunglah insiden infeksi ini masih rendah. Hal ini karena walaupun resiko infeksi selama pemeriksaan dan persalinan sangat tinggi namun cairan amninon memiliki fungsi bakteriostatik ( Thadepalli, Aplemin et al.,1997 ).
Jika terdapat korioamnitis, diberi antibiotic dan akan lebih baik jika diberikan melalui intravena. Antibiotik yang paling efektif  yaitu : gentamicine, cephalosporine, amphicilline.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KPD

A.        Pengkajian
1.      Identitas ibU
2.      Riwayat penyakit
a.    Riwayat kesehatan sekarang : ibu datang dengan pecahnya ketuban sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu dengan atau tanpa komplikasi.
b.    Riwayat kesehatan dahulu.
·       Adanya trauma sebelumny akibat efek pemeriksaan amnion.
·       Sintesis, pemeriksaan pelvis, dan hubungan seksual.
·       Kehamilan ganda, polihidramnion
·       Infeksi vagina/serviks oleh kuman streptokokus
·       Selaput amnion yang lemah/tipis.
·       Posisi fetus tidak normal
·       Kelainan pada otot serviks atau genital seperti panjang serviks yang pendek
·       Multiparitas dan peningkatan usia ibu serta defisiensi nutrisi.
c.    Riwayat kesehatan keluarga : ada atau tidaknya keluhan ibu yang lain yang oernah mengalami hamil kembar atau turunan kembar.
3.      Pemeriksaan fisik
a.   Kepala dan leher
·       Mata perlu diperiksa di bagian sklera, konjungtiva
·       Hidung ada/tidak adanya pembengkakan konka nasalis. Ada/tidaknya hipersekresi mukosa.
·       Mulut, gigi karies/tidak, mukosa mulut kering, dan warna mukosa gigi
·       Leher berupa pemeriksaan JVP, KGB, dan tiroid.
b.      Dada
·       Thoraks
Inspeksi kesimetrisan dada, jenis pernapasan torakabdominal, dan tidak ada retraksi dinding dada. Frekuaensi pernapasan normal 16-24X/menit. Iktus kordis terlihat/tidak.
Palpasi : payudara tidak ada pembengkakan.
Aukultasi : terdengar BJ I dan II di IC kiri/kanan, bunyi napas normal vesikular.
·       Abdomen
Inspeksi : ada/tidaknya bekas operasi, striae, dan linea
Palpasi : TFU, kontraksi ada/tidak, posisi janin, kandung kemih penuh/tidak
Auskultasi : DJJ ada/tidak
c.      Genitalia
Inspeksi : kebersihan, ada/tidaknya tanda – tanda REEDA (Red, edema, discharge, approximately); pengeluaran air ketuban (jumlah, warna, bau) ; lendir merah muda kecoklatan.
Palpasi : pembukaan serviks (0-4)
Ekstremitas : edema, varises ada/tidak.

4.      Pemeriksaan diagnostik
a.    Hitung darah lengkap untuk menentukan adanya anemia, infeksi
b.    Golongan darah dan faktor Rh
c.    Rasio lesitin terhadap spingomielin (Rasio US) : menentukan maturitas janin
d.    Tes ferning dan kertas nitrazine : memastikan pecahnya ketuban
e.    Ultrasonografi : menentukan usia gestasi, ukuran janin, gerakan jantung janin, dan lokasi plasenta
f.      Pelvimetri : identifikasi posisi janin

B.       Diagnosa Keperawatan
1.      Resiko tinggi infeksi maternal yang berhubungan dengan prosedur invasif, pemeriksaan vagina berulang, ruptur membran amniotik
2.      Kerusakan pertukaran gas pada janin yang berhubungan dengan adanya penyakit
3.      Resiko tinggi cedera pada janin yang berhubungan dengan melahirkan bayi premature /tidak mature.
4.      Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada diri sendiri/janin.
5.      Resiko tinggi penyebaran infeksi/sepsis yang berhubungan dengan adanya infeksi, prosedur invasif, peningkatan pemahaman lingkungan
6.      Resiko tinggi keracunan karena toksik yang berhubungan dengan dosis/efek samping tokolitik
7.      Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan hipersensitivitas otot
8.      Resiko tinggi kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan masukan cairan

C.       Intervensi Keperawatan
DX 1
Resiko tinggi infeksi maternal berhubungan dengan prosedur invasif, pemeriksaan vagina berulang, atau ruptur membrane amniotik.

Tujuan :
Infeksi maternal tidak terjadi

Kriteria hasil :
Dalam waktu 3X24 jam ibu bebas dari tanda – tanda infeksi (tidak demam, cairan amnion jernih, hampir tidak berwarna, dan tidak berbau)

Intervensi
Rasional
Lakukan pemeriksaan vagina awal. Ulangi bila pola kontraksi atau perilaku ibu menandakan kemajuan
Pengulangan pemeriksaan vagina berperan dalam insiden infeksi saluran asendens.
Gunakan teknik aseptik selama pemeriksaan vagina
Mencegah pertumbuhan bakteri dan kontaminasi pada vagina
Anjurkan perawatan perinium setelah eliminasi setiap 4 jam dan sesuai indikasi
Menurunkan resiko infeksi saluran asendens
Pantau dan gambarkan karakter cairan amniotik
Pada infeksi, cairan amnion menjadi lebih kental dan kuning pekat serta dapat terdeteksi adanya bau yang kuat.
Pantau suhu, nadi, pernapasan dan sel darah putih
Dalam 4 jam setelah membrane ruptur, insiden korioamnionitis menigkat secara progresif sesuai dengan waktu yang ditunjukkan melalui TTV
Tekankan pentingnya mencuci tangan yang baik dan benar,
Mengurangi perkembangan mikroorganisme
Kolaborasi :
Berikan cairan oral dan parenteral sesuai indikasi. Berikan enema pembersih bila sesuai indikasi

Berikan antibiotik profilaktik bila diindikasikan
Meski tidak boleh sering dilakukan, namun evaluasi usus dapat meningkatkan kemajuan persalinan dan menurunkan resiko infeksi

Antibiotik dapat melindungi perkembangan korioamnionitis pada ibu beresiko 

Dx 2
Gangguan pertukaran gas pada janin yang berhubungan dengan adanya proses penyakit

Tujuan :
Pertukaran gas pada janin kembali normal

Criteria hasil
Dalam 1X24 jam klien menunjukkan DJJ dan variabilitas denyut per denyut dalam batas normal, bebas dari efek – efek merugikan dan hipoksia selama persalinan.

Intervensi
rasional
Pantau DJJ setiap 15 – 30 menit
Takikardi atau bradikardi janin adalah indikasi dari kemungkinan penurunan yang mungkin perlu intervensi
Periksa DJJ dengan segera bila terjadi pecah ketuban dan periksa 5 menit kemudian, observasi perineum ibu untuk mendeteksi terjadinya prolaps tali pusar.
Mendeteksi distress janin karena kolaps alveoli
Perhatikan dan catat warna serta jumlah cairan amnion dan waktu pecahnya ketuban
Pola presentasi vertex, hipoksia yang lama mengakibatkan cairan amnion berwarna seperti mekonium karena rangsangan vagal yang merelaksasikan sfingter anus janin
Catat perubahan DJJ selama kontraksi, pantau aktivitas uterus secara manual atau elektrolit. Bicara pada ibu/pasangan dan berikan informasi tentang situasi tersebut.
Mendeteksi beratnya hipoksia dan kemungkinan penyebab janin rentan terhadap potensi cedera selama persalinan karena menurunnya kadar oksigen.
Kolaborasi :
Siapkan untuk melahirkan dengan cara yang paling baik atau dengan intervensi bedah bila tidak terjadi perbaikan.
Dengan penurunan viabilitas mungkin memerlukan kelahiran seksio caesaria untuk mencegah cedera janin dan kematian karena hipoksia.

D.       Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah direncanakan. Mencakup tindakan mandiri maupun tindakan kolaborasi.
Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk dari petugas kesehatan lainnya.
Tindakan kolaborasi adalah tindakan tindakan keperawatan yang didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya.

E.       Evaluasi
Merupakan hasil perkembangan ibu dengan berpedoman kepada hasil dan tujuan yang hendak dicapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar