A. FARMAKOLOGI
Farmakologi merupakan Soframycin (framycetin sulfat), antibiotik spektrum yang luas, akan mengendalikan dan membasmi sebagian besar infeksi sekunder yang mungkin hadir dalam lesi dan pada saat yang sama akan memberikan perlindungan mekanis yang baik yang tidak mematuhi granulating kulit. Mudah untuk menerapkan dan mungkin akan dihapus tanpa rasa sakit. Penerapan ganti tidak mengakibatkan kelelahan dari lesi.
Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Dapat juga dikatakan sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.
Contoh obat dengan sediaan salep :
1. Sulfur / belerang endap
Cara kerja : mempunyai sifat germisida, fungisida, parasitisida dan juga mempunyai efek keratolitik. Namun saat ini penggunaan sulfur untuk obat jerawattidak dianjurkan lagi karena udah obsoletdan telah tersedia obat yang lebih efektif.
2. Asam salisilat
Cara kerja : mempunyai sifae keratolitik, yang dapat melunakkan kulit sehingga dapat membantu penyerapan obat lain dan fungisida yang lemah.
3. Resorsinol
Cara kerja : mempunyai efek antifungi, anti bakteri dan keratolitk.dan tidak dianjurkan prmakaian jangka lama karena dapat mengganggu fungsi tiroid.
4. Benzoil peroksida
Cara kerja : Benzoil peroksida secara perlahan melepaskan oksigen aktif yang memberikan efek bakteriostatik juga mempunyai efek keratolitik dan mengeringkan sehingga dapat menunjang efek pengobatan.
2. Obat dengan sediaan tablet (Compressi)
Tablet merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler kedua permukaan rata atau cembung mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan.
Contoh obat dengan sediaan tablet :
1. Parasetamol
Merupakan obat penurun demam.
2. Asetosal
Merupakan obat penurun demam
3. Ibupropen
Cara kerja obat :
Ibupropen adalah golongan obat Antiradang nonsteroid yang pada dosis 200 mg hanya mempunyai efek pereda nyeri dan penurun demam.
Kegunaan :
Untuk meringankan nyeri ringan sampai sedang,seperti : nyeri pada Dismenore primer dan nyeri dada.
Kontraindikasi :
· Penderita dengan tukak lambung dan duedenum ( ulkus peptikum ) yang berat dan aktif.
· Penderita yang alergi terhadap Ibuprofen dan obat antiinflamasi nonsteroid yang lain.
· Penderita polip hidung, Angioedema, reaksi Bronkhospastik terhadap Aspirin dan obat anti nonsteroid yang lain.
· kehamilan tiga bulan terakhir
3. Obat dengan sediaan guttae (Obat Tetes)
Merupakan sediaan cairan berupa larutan, emulsi, atau suspensi, dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes beku yang disebutkan Farmacope Indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa antara lain: Guttae (obat dalam), Guttae Oris (tets mulut), Guttae Auriculares (tetes telinga), Guttae Nasales (tetes hidung), Guttae Ophtalmicae (tetes mata). Sediaan tetes mata yang mengandung timolol maleat dibuat untuk digunakan pada pengobatan penyakit glaucoma dan ocular hipertensi. Glaucoma adalah peningkatan tekanan intraoculer akibat produksi cairan yang berlebihan. Biasanya sediaan yang dibuat diinginkan menyerupai atau meniru fungsi dari air. Contohnya, obat tetes mata: Atropin sulfat menghambat M. constrictor pupillae dan M. ciliaris lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis mengakibatkan fotopobia, sedangkan siklopegia menyebabkan hilangnya daya melihat jarak dekat.
Contoh obat tetes pada hidung :
- Antibiotik.
- Sulfasetamide
- Vasokontriktor
- Germisid
- Antiseptik
Obat hidung biasanya diberikan dengan empat cara :
1. Yang biasanya adalah dengan meneteskan pada bagian tiap lubang hidung dengan menggunakan pipet tetes.
2. Dengan cara disemprotkan, alatnya ada yang jenis untuk mendapatkan hasil semprotan beruba kabut (atomizer) ada juga yang agak halus (neulizer) artinya lebih halus dari atomizer.
3. Dengan cara mencucikan dengan alat “nasal douche”
4. Dapat juga dengan cara “inheler”, diisap-isap.
Contoh obat tetes mata :
Obat tetes mata atropin sulfat/midriatik
FARMAKOLOGI
Atropin sulfat menghambat M. constrictor pupillae dan M. ciliaris lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis mengakibatkan fotopobia, sedangkan siklopegia menyebabkan hilangnya daya melihat jarak dekat.
FARMAKODINAMIKA
Sesudah pemberian 0,6 mg atropin SK padamulanya terlihat efek terhadap kelenjar eksokrin, terutama hambatan salivasi, serta efek bradikardi sebagai hasil perangsangan N. vagus. Mula timbulnya midriasis tergantung dari besarnya dosis
Obat tetes mata betametason natrium
Betametason termasuk golongan kortikosteroid, dapat mengatasi gejala inflamasi mata bagian luar maupun pada segmen anterior. Obat dapat diberikan pada kantung konjungtiva yang akan mencapai kadar terapi dalam cairan mata, sedangkan pada gangguan bagian mata posterior lebih baik diberikan sistemik. Pada konjungtivitis karena bakteri, virus atau fungus, obat ini dapat menimbulkan masking effect sehingga infeksi dapat menjalar ke dalam dan menimbulkan kebutaan. Hal yang membahayakan ini sering terjadi pada pemberian kombinasi dengan antibiotik. Obat ini tidak boleh digunkan pada herpes simpleks mata (dendritis keratitis), karena dapat memperburuk keadaan dan menimbulkan kekeruhan kornea yang menetap. Pada laserasi dan absrasio mata akibat trauma mekanik, kortikosteroid topikal dapat memperlambat penyembuhan dan menyebarkan infeksi. (Farmakologi dan Terapi, hal: 497)
Obat tetes mata tetrasiklin hcl
Tetrasiklin merupakan antibiotik paling luas spektrumnya, aktif terhadap bakteri gram positif dan negatif, spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia dan protozoa tertentu. Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air,tetapi bentuk garam Natrium atau garam HCl-nya mudah larut. Dalam keadaan kering bentuk garam HCL tetrasiklin bersifat relatif stabil. Dalam bentuk larutan tetrasiklin sangat labil jadi cepat berkurang potensinya.
Obat tetes mata hidrokortison asetat
Hidrokortison dapat dibuat sebagai sediaan tetes mata untuk mengobati proses peradangan seperti radang pada selaput mata, selaput bening, dan pinggir kelopak mata (conjungtivitis, creatitis, blepharitis). (OOP 728)
Hidrokortison asetat bersifat tidak larut dalam air sehingga hidrokortison asetat dibuat sediaan suspense obat mata untuk mengobati inflamasi pada mata. Bentuk sediaan suspense dapat meningkatkan waktu kontak obat dengan kornea, sehingga memberikan kerja lepas lambat yang lebih lama (ANSEL 562).
Obat tetes mata sebagai miotika
(pilokarpin HCl)
Pilokarpin merupakan obat kolinergik golongan alkaloid tumbuhan, yang bekerja pada efektor muskarinik dan sedikit memperlihatkan sedikit efek nikotinik sehingga dapat merangsang kerja kelenjar air mata dan dapat menimbulkan miosis dengan larutan 0,5 - 3%. Obat tetes mata dengan zat aktif Pilokarpin berkhasiat menyembuhkan glaukoma dan mata kering. Dosis Pilokarpin yang paling umum digunakan untuk sediaan tetes mata adalah 1 – 4% (DI Hal. 2680).
Obat tetes mata tetrahydrozolin HCl
anti iritasi dan alergi
Obat tetes mata dengan zat aktif Tetrahydrozolin HCl berkhasiat menyembuhkan secara simtomatis edema konjungtiva, hyperemia sekunder yang disebabkan alergi mata, iritasi ringan dan konjungtivitis katarak. Efek penyembuhan termasuk iritasi terbakar, iritasi mata, rasa gatal, rasa sakit dan mata berair yang berlebihan. Dosis Tetrahydrozolin HCl paling umum digunakan untuk sediaan tetes mata adalah 0,05% (DI hal 2704).
tetes mata epinefrin HCL
Epinefrin HCL secara topikal digunakan untuk mengurangi tekanan intraokuler penderita glaukoma sudut lebar berdasarkan efek vasokonstriksi lokal yang menyebabkan pembentukan cairan mata berkurang.
Obat tetes mata NaCl dan KCl
Sediaan ini berkhasiat untuk menjaga isotonisitas dan karekteristik sel.
Obat tetes mata difenhidramin HCl
Untuk sediaan larutan topikal biasanya mengandung 1-2% difenhidramin HCL. Obat tetes mata difenhidramin HCL merupakan suatu larutan obat mata yang dapat melawan peradangan karena sebab-sebab mekanis, kimia atau imunologik.difenhidramin merupakan suatu antihistamin golongan etanolamin yang dapat digunakan untuk pengobatan reaksi hipersensitifitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih . pada beberapa orang reaksi hipersensitifitas pada mata yang disebabkan oleh alergi dari luar ( misalnya : debu,asap). Tanda yang terlihat pada reaksi hipersensitifitas atau masuknya alergi dari luar berupa mata perih dan gatal.
Obat tetes mata gentamisin HCl
Gentamisin sistemik diindikasikan untuk infeksi oleh kuman gram negatif yang sensitif antara lain E coli, serratia, klebsiela,pseudomonas, proteus.(farmakologi dan terapi edisi 4 hal 674 )
Obat tetes mata polimiksin B sulfat
Polimiksin B sulfat aktif terhadap berbagai kuman negatif terutama Ps.aeruginosa . obat ini bekerja dengan mengganggu fungsi pengaturan osmosis oleh membran sitoplasma kuman. Jarang terjadi resisten pada antibiotik ini .
tetes mata timolol maleat
Sediaan tetes mata yang mengandung timolol maleat dibuat untuk digunakan pada pengobatan penyakit glaucoma dan ocular hipertensi. Glaucoma adalah peningkatan tekanan intraoculer akibat produksi cairan yang berlebihan. Biasanya sediaan yang dibuat diinginkan menyerupai atau meniru fungsi dari air mata, sehingga dibuat senyaman mungkin untuk mata.
Obat tetes mata polivinil alkohol
Sediaan tetes mata yang mengandung polivinil alkohol ini dibuat untuk digunakan pada mata yang kering sehingga membutuhkan lubrikasi.
Obat tetes untuk mata kering
NaCl)
Ditambah pengental (PVA) untuk meningkatkan viskositas dan berguna untuk memperpanjang durasi kontak di mata. Jika hanya NaCl, NaCl mudah keluar sehingga waktu kontak di mata hanya sebentar. Karena ditambah PVA dan benzalkonium klorida maka konsentrasi NaCl harus diturunkan agar diperoleh sediaan mata yang isotonis.
Cara penggunaan obat tetes mata :
- Untuk mencegah kontaminasi (pencemaran), ujung wadah obat tetes mata jangan terkena permukaan benda lain (termasuk mata) dan wadah harus tetap tertutup rapat sesudah dipakai.
- Cara pemakaian obat tetes mata mula-mula cucilah tangan anda. Tengadahkanlah kepala, tarik kelopak mata bagian bawah. Teteskan/oleskan obat dan perlahan-lahan tutup mata anda. Jangan berkedip. Biarkan mata tertutup selama 1 sampai 2 menit.
- Setelah menggunakan obat tetes mata cucilah tangan anda kembali untuk membersihkan sisa obat.
- Obat tetes mata yang telah terbuka dan dipakai jangan disimpan lebih dari 30 hari untuk digunakan lagi, karena kemungkinan sudah tidak bebas kuman atau rusak.
- Untuk menghindari infeksi, jangan gunakan obat tetes mata lebih dari satu orang.
Penggunaan obat salep mata :
Dalam penggunaan obat salep mata, untuk mencegah kontiminasi dari penggunaan salep mata diusahakan jangan sampai ujung “ tube “ menyentuh mata. Setelah penggunaan bersihkan ujung tube dengan tisu lalu ditutup rapat. Cara pakai, cuci tangan dengan bersih, tarik kelopak mata bawah sehingga berbentuk lekuka, oleskan lapisan tipis salep mata pada lekukan kurang lebih 1 cm panjangnya, pelan-pelan tutup mata dan diamkam 1-2 menit, kemudian cuci kembali tangan anda.
Perbedaan obat salep mata dengan obat tetes mata
umumnya, pada saat mengalami konjungtivitis masyarakat awam menggunakan obat tetes mata untuk mengobatinya. Sebenarnya, selain obat tetes mata, masih ada alternatif lain yang cukup efektif dan dapat digunakan untuk mengobati penyakit ini. Seperti salep mata yang telah terbukti manfaatnya dalam pengobatan sakit mata. Pada dasarnya, salep mata tidak jauh berbeda dengan obat tetes mata, dilihat dari segi kandungannya. Salep mata yang banyak beredar di pasaran adalah salep mata yang mengandung antibiotik dan biasa digunakan untuk mengobati konjungtivitis akibat bakteri. Sebenarnya, salep mata memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan obat tetes mata. Salep mata cenderung lebih awet (dalam penyimpanan), penggunaannya juga lebih efisien dan tahan lama. Tidak seperti tetes mata yang cepat menguap habis akibat terbuang bersama air mata sehingga kita harus lebih sering menggunakannya, salep mata lebih lama menempel di mata sehingga pengobatannya pun menjadi lebih efektif. Pada penderita akut, salep mata sangat dianjurkan daripada tetes mata yang harus diteteskan setiap 3 sampai 4 jam sekali, karena daya kerjanya cepat menghilang, terbuang bersama air mata. Dengan penggunaan yang dioleskan pada kelopak mata bagian dalam, diharapkan zat aktif dalam salep mata dapat bekerja optimal. Sehingga diharapkan penyembuhan menjadi lebih cepat. Cara penggunaan salep mata tidak jauh berbeda dengan penggunaan obat tetes mata. Kedua jenis obat ini ( salep mata dan tetes mata ) merupakan obat steril
FARMAKOKINETIKA
Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib/perjalan obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi(ekskresi). Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses. Setelah diabsorpsi obat akan didistribusi keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah, karena selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Biotransformasi atau lebih dikenal dengan metabolisme obat, adalah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar atau lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak, sehigga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Eliminasi obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi (dalam bentuk asalnya). Obat (metabolit polar) lebih cepat diekskresi daripada obat larut lemak, kecuali yang melalui paru.
1) Absorpsi dan Bioavailabilitas
Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.
2) Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak.
Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel.
Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
3) Biotransformasi / Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
4) Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.
C. FARMAKODINAMIKA
Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
1) Mekanisme Kerja Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.
2) Reseptor Obat
Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
3) Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar. Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D.
4) Interaksi Obat-Reseptor
Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen.
5) Antagonisme Farmakodinamika
Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan.
6) Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke komponen sel.
7) Efek Obat
Efek obat merupakan proses yang berhubungan dengan fungsi fisiologis dan biokimia dari obat didalam tubuh. Pemahaman tentang proses ini sangat membantu perawat untuk mengevaluasi efek terapeutik dan efek lainnya dari pengobatan.
Reaksi kerja obat adalah hasil dari reaksi kimia antara zat-zat obat dengan sel-sel tubuh untuk menghasilkan respon biologis tubuh. Kebanyakan obat bereaksi dengan komponen sel untuk menstimulasi perubahan biokimia dan fisiological sehingga obat menjadi efektif bagi tubuh. Reaksi ini dapat terjadi secara lokal maupun sistemik didalam tubuh. Contohnya adalah efek lokal terlihat terjadi pada pemberian obat topikal pada kulit. Sedangkan pada pemberian obat analgesik, efeknya akan meliputi beberapa sistem, termasuk diantaranya yaitu sistem saraf (efek sedatif), paru-paru (depresi pernafasan), gastrointenstinal (konstipasi) walaupun efek yang diharapkan adalah pereda nyeri. Efek medikasi dapat dimonitor melalui perubahan klinis yang terjadi pada kondisi klien. Secara umum, peningkatan kualitas pada gejala dan hasil laboratorium menunjukkan efektivitas medikasi.
Efek Terapeutik
Adalah efek yang diinginkan atau efek tujuan dari medikasi yang diberikan. Efek tersebut bervariasi berdasarkan bahan dasar obat, lama penggunaan obat, dan kondisi fisik klien. Beberapa diantaranya juga dipengaruhi interaksi antar obat yang dikonsumsi. Puncak reaksi obat sangat bervariasi tergantung dari obat yang diberikan dan cara pemberian yang dilakukan.
Efek Merugikan
Adalah efek lain dari obat selain efek terapi yang diinginkan. Efek merugikan ini dapat merupakan efek lanjutan dari efek terapi, misalnya hipotensi dapat terjadi ketika pemberian antihipertensi. Beberapa efek yang merugikan ini dapat ditangani segeraseperti konstipasi, namun ada pula yang memerlukan perhatian lebih, misalnya depresi pernafasan. Efek ini sering terjadi pada klien yang sangat parah kondisi dan menerima banyak medikasi (Cleveland, Aschenbrenner, Venable, & Yensen, 1999).
Efek samping
Efek merugikan obat dengan skala kecil disebut juga efek samping obat. Banyak efek samping yang tidak berbahaya dan dapat diabaikan, namun ada pula yang dapat membahayakan terutama ketika ada obat baru yang diberikan atau ditambahkan dosisnya. Perawat harus waspada terhadap efek merugikan dari obat ini.
Reaksi hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas terjadi bila klien sensitif terhadap efek dari pengobatan yang dilakukan. Hal ini dapat terjadi bila dosis yang diberikan lebih dari kebutuhan klien sehingga menimbulkan efek lain yang tidak diinginkan. Contohnya adalah ketika seorang pria dewasa dengan berat badan normal biasanya dapat diberikan meperidin (sedatif) dengan dosis 75 – 100 mg, namun pada klien lansia dengan berat badan rendah akan mengalami durasi reaksi yang lebih lama dan dapat mengalami penurunan kesadaran dengan dosis meperidin yang sama. Biasanya, dengan menurunkan dosis dan meningkatkan interval waktu pemberian, maka obat tersebut dapat dikonsumsi dengan aman.
Toleransi
Adalah reaksi yang terjadi ketika klien mengalami penurunan respon / tidak berespon terhadap obat yang diberikan, dan membutuhkan penambahan dosis obat untuk mencapai efek terapi yang diinginkan. Beberapa zat yang dapat menimbulkan toleransi terhadap obat adalah nikotin, etil alkohol, opiat dan barbiturat.
Reaksi alergi
Adalah akibat dari respon imunologik terhadap medikasi. Tubuh menerima obat sebagai benda asing, sehingga tubuh akan membentuk antibodi untuk melawan dan mengeluarkan benda asing tersebut. Akibatnya akan menimbulkan gejala / reaksi alergi yang dapat berkisar dari ringan sampai berat. Reaksi alergi yang ringan diantaranya adalah gatal-gatal (urtikaria), pruritus, atau rhinitis, dapat terjadi dalam hitungan menit sampai dengan 2 minggu pada klien setelah mengkonsumsi obat. Reaksi pada kulit ( gatal-gatal, kemerahan, dan lesi) biasanya meningkat setelah klien menghentikan medikasi terutama obat yang memiliki kegunaan yang sama dengan antihistamin.
Reaksi alergi yang parah dapat mengakibatkan gejala seperti sesak nafas (wheezing, dispneu), angioedema pada lidah dan orofaring, hipotensi, dan takikardia segera setelah pemberian obat. Reaksi ini disebut reaksi anafilaktik dan membutuhkan tindakan medis segera karena dapat berakibat fatal. Tindakan yang dapat dilakukan adalah menghentikan segera pemberian obat tersebut, segera berikan epinefrin, cairan infus (normal saline), steroid, dan antihistamin.
Toksisitas
Atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi. Perhatian harus diberikan pada dosis dan tingkat toksik obat, dengan menevaluasi fungsi ginjal dan hepar. Beberapa obat dapat langsung berefek toksik setelah diberikan, namun obat lainnya tidak menimbulkan efek toksik apapun selama berhari-hari lamanya.
Keracunan obat dapat mengakibatkan kerusakan pada fungsi organ. Hal yang umum terjadi adalah nefrotoksisitas (ginjal), neurotoksisitas (otak), hepatotosisitas (hepar), imunotoksisitas (sistem imun), dan kardiotoksisitas (jantung). Pengetahuan tentang efek toksisitas obat akan membantu perawat.
Keracunan obat dapat mengakibatkan kerusakan pada fungsi organ. Hal yang umum terjadi adalah nefrotoksisitas (ginjal), neurotoksisitas (otak), hepatotosisitas (hepar), imunotoksisitas (sistem imun), dan kardiotoksisitas (jantung). Pengetahuan tentang efek toksisitas obat akan membantu perawat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar